Bismillah.
"Abi, mo jemur baju di depankah?", tanyaku pada si Abi yang sedang mengeluarkan cucian dari pengering di mesin cuci.
"Iya. Kenapa, Mi?
"Ummi aja yang jemurin. Tapi habis nyusuin Umar. Malu dilihat tetangga, masa suami yang jemurin baju. Ntar diomongin orang". Jawabku.
Kembali aku melanjutkan, "nanti kalo pas jemur bajunya di belakang, Abi yang jemur. Tapi kalo di depan, ummi aja".
"Ck. Ngapain juga malu. Suami jemurin baju bukan suatu aib kok. Cuek aja lagi." Jawab si yayang hasben sambil berlalu dengan mengangkat seember penuh cucian yang siap untuk dijemur".
Ya. Suamiku terkadang memang suka pindah-pindah sesuka hati posisi menjemur baju. Kadang di halaman belakang setelah dapur kadang di halaman depan dekat teras. Dan yang paling sering kebagian job menjemur baju adalah si Abi.
Bukan tanpa alasan aku melarang suamiku menjemur baju di halaman depan. Ini semua adalah buntut dari obrolan kepo khas emak-emak yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Waktu itu jam istirahat. Aku beserta beberapa rekan guru, terlibat obrolan asyik dengan berbagai topik. Entah siapa yang memulai hingga topik pembicaraan berubah menjadi topik suami idaman. Dimana suami idaman itu yang ga segan-segan bantu-bantu pekerjaan rumah tangga.
Tiba-tiba ada satu rekan guru nyeletuk. Sebutlah Bu Una. "Tau ga, sosok suami idaman itu ya kayak Pak Iyan". Ia menyebut nama seorang bapak guru yang juga merupakan rekan kami mengajar.
"Dulu pernah aku diceritain sama si Puput, alumni siswi kita dulu itu loh. Katanya, Pak Iyan itu suami idaman banget. Tiap pagi udah jemurin baju". Lanjut Bu Una.
"Kok Puput tau kalo pak Iyan jemurin baju?", Tanyaku.
"Ya jelas tau lah, diakan tetangganya. Sering liat. lha wong jemurnya di depan rumah". Jawab Bu Una.
"Bagus donk, Buk. Itu artinya beliau mau kerjasama urusan rumah tangga. Membantu istrinya juga". Refleks aku menyahut.
"Tapi, Bu Nana. Mbok ya jangan jemur baju gitu loh, di depan rumah lagi. Kalo diliat orang kan ga pantes gitu loh. Laki-laki kok jemurin baju". Jawab Bu Una ga mau kalah.
"Waduh. Suamiku juga sering tuh buk. Jemurin baju. Di depan rumah juga. Wah jangan-jangan, kami diomongin tetangga juga nih. Hahaha." Aku berkata seraya tertawa.
Dan obrolanpun berlanjut kesana kemari.
Jujur, ucapan Bu Una tersebut sedikit mengganggu pikiranku. Terus terang, soal urusan cuci mencuci baju sampai menjemurnya yang paling dominan berperan adalah suamiku. Entahlah, aku juga bingung. Seperti sudah ada job description tak tertulis antara kami berdua.
Sebagai pasangan suami istri yang sama-sama berprofesi guru. Dengan empat anak yang masih kecil-kecil membuat kami saling bahu membahu, bergotong royong dalam urusan rumah tangga.
Sehingga bukanlah hal aneh bagi kami bila seorang suami juga turut serta mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga. Karena itu bukan suatu aib. Seperti kata yayang hasben tadi.
Tak selayaknya seorang suami harus merasa malu ikut membantu istri dalam pekerjaan domestik rumah tangga. Sementara manusia yang paling mulia dan menjadi suri tauladan umatnya saja melakukannya.
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
See. Manusia yang paling mulia. Teladan umat saja membantu istrinya. Apalagi kita?
Membantu pekerjaan istri bukanlah suatu hal yang memalukan. Percayalah saat seorang suami menjemurkan baju, ada tatapan sayang yang bertambah-tambah dari seorang perempuan yang disebut istri. Trust me.
Sekian.
Ocehan seorang istri dari seorang suami yang suka bantuin jemurin baju.
Ditulis di malam hari. Saat debay Umar terlelap.
Wallahu 'alam bishowab.
Hanau, Seruyan, Kal-teng, Indonesia.
"Abi, mo jemur baju di depankah?", tanyaku pada si Abi yang sedang mengeluarkan cucian dari pengering di mesin cuci.
"Iya. Kenapa, Mi?
"Ummi aja yang jemurin. Tapi habis nyusuin Umar. Malu dilihat tetangga, masa suami yang jemurin baju. Ntar diomongin orang". Jawabku.
Kembali aku melanjutkan, "nanti kalo pas jemur bajunya di belakang, Abi yang jemur. Tapi kalo di depan, ummi aja".
"Ck. Ngapain juga malu. Suami jemurin baju bukan suatu aib kok. Cuek aja lagi." Jawab si yayang hasben sambil berlalu dengan mengangkat seember penuh cucian yang siap untuk dijemur".
Ya. Suamiku terkadang memang suka pindah-pindah sesuka hati posisi menjemur baju. Kadang di halaman belakang setelah dapur kadang di halaman depan dekat teras. Dan yang paling sering kebagian job menjemur baju adalah si Abi.
Bukan tanpa alasan aku melarang suamiku menjemur baju di halaman depan. Ini semua adalah buntut dari obrolan kepo khas emak-emak yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Waktu itu jam istirahat. Aku beserta beberapa rekan guru, terlibat obrolan asyik dengan berbagai topik. Entah siapa yang memulai hingga topik pembicaraan berubah menjadi topik suami idaman. Dimana suami idaman itu yang ga segan-segan bantu-bantu pekerjaan rumah tangga.
Tiba-tiba ada satu rekan guru nyeletuk. Sebutlah Bu Una. "Tau ga, sosok suami idaman itu ya kayak Pak Iyan". Ia menyebut nama seorang bapak guru yang juga merupakan rekan kami mengajar.
"Dulu pernah aku diceritain sama si Puput, alumni siswi kita dulu itu loh. Katanya, Pak Iyan itu suami idaman banget. Tiap pagi udah jemurin baju". Lanjut Bu Una.
"Kok Puput tau kalo pak Iyan jemurin baju?", Tanyaku.
"Ya jelas tau lah, diakan tetangganya. Sering liat. lha wong jemurnya di depan rumah". Jawab Bu Una.
"Bagus donk, Buk. Itu artinya beliau mau kerjasama urusan rumah tangga. Membantu istrinya juga". Refleks aku menyahut.
"Tapi, Bu Nana. Mbok ya jangan jemur baju gitu loh, di depan rumah lagi. Kalo diliat orang kan ga pantes gitu loh. Laki-laki kok jemurin baju". Jawab Bu Una ga mau kalah.
"Waduh. Suamiku juga sering tuh buk. Jemurin baju. Di depan rumah juga. Wah jangan-jangan, kami diomongin tetangga juga nih. Hahaha." Aku berkata seraya tertawa.
Dan obrolanpun berlanjut kesana kemari.
Jujur, ucapan Bu Una tersebut sedikit mengganggu pikiranku. Terus terang, soal urusan cuci mencuci baju sampai menjemurnya yang paling dominan berperan adalah suamiku. Entahlah, aku juga bingung. Seperti sudah ada job description tak tertulis antara kami berdua.
Sebagai pasangan suami istri yang sama-sama berprofesi guru. Dengan empat anak yang masih kecil-kecil membuat kami saling bahu membahu, bergotong royong dalam urusan rumah tangga.
Sehingga bukanlah hal aneh bagi kami bila seorang suami juga turut serta mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga. Karena itu bukan suatu aib. Seperti kata yayang hasben tadi.
Tak selayaknya seorang suami harus merasa malu ikut membantu istri dalam pekerjaan domestik rumah tangga. Sementara manusia yang paling mulia dan menjadi suri tauladan umatnya saja melakukannya.
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya” (HR At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).
See. Manusia yang paling mulia. Teladan umat saja membantu istrinya. Apalagi kita?
Membantu pekerjaan istri bukanlah suatu hal yang memalukan. Percayalah saat seorang suami menjemurkan baju, ada tatapan sayang yang bertambah-tambah dari seorang perempuan yang disebut istri. Trust me.
Sekian.
Ocehan seorang istri dari seorang suami yang suka bantuin jemurin baju.
Ditulis di malam hari. Saat debay Umar terlelap.
Wallahu 'alam bishowab.
Hanau, Seruyan, Kal-teng, Indonesia.
Comments
Post a Comment